Sabtu, 02 Maret 2013


Apa Saja Kriteria Menjadi Sahabat Nabi SAW

kubahDefinisi sahabat dari Imam Bukhari yang mengajukan kriteria “menemani nabi atau melihatnya dan dia muslim”, rupanya masih belum memuaskan bagi kalangan ahli hadits.
Beberapa kritikan atas definisi tersebut antara lain : pertama, bagi sahabat yang tuna netra, tidak pernah melihat nabi tidak bisa disebut sebagai sahabat. Kedua, adalah definisi tersebut tidak membahas sahabat yang murtad. Kriteria melihat (ra’a), dengan demikian masih menyisakan beberapa persoalan. Untuk mengatasi probel-problem tersebut kemudian ahli hadist mengajukan kriteria “bertemu” (laqiya) sebagai pengganti kriteria “melihat”. Dengan kriteria ini, maka persoalan sahabat yang tidak pernah melihat atau tidak bertemu dapat dijawab dengan tegas (menghindari ambiguitas).
Solusi berikutnya yang diajukan ahli hadis adalah mengajukan kriteria “meninggal sebagai muslim” (wa mata ‘ala al-Islam). Sahabat yang pada akhir hidupnya kemudian diketahui murtad dengan demikian tidak disebut sebagai sahabat. Dengan kriteria-kriteria tersebut akhirnya definisi sahabat adalah Siapa saja yang bertemu Nabi saat dia masih Muslim dan meninggal sebagai Muslim. Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa ahli hadist mengajukan kriteria minimal yaitu : a) pernah bertemu Nabi, b) muslim dan c) meninggal dalam keadaan muslim.
Mencermati definisi sahabat yang diajukan oleh ahli hadist tersebut di atas, kemudian dapat dikembangkan sebagai alat menentukan apakah seseorang disebut sebagai sahabat atau bukan.
Pertama, kriteria bertemu nabi. Dengan kriteria ini, seseorang yang pernah bertemu nabi, sebelum ditetapkan sebagai Nabi, maka tidak dapat digolongkan sebagai sahabat. Mereka hanya melihat Muhammad sebelum menjadi Nabi. Contoh dalam kasus ini adalah Tabi’ al-Himyari. Dia adalah pemandu Nabi, namun menolak menjadi Muslim. Dia masuk Islam pada masa kekhalifahan Abu Bakar (Ibn Hajar, al-Isaba, 1: 189). Demikian pula, pertemuan seseorang dengan Nabi harus terjadi di dunia riil (‘alam al-shahada). Mereka yang bertemu Nabi dalam dunia lain (‘alam al-ghaib), seperti kasus al-Rabi’ ibn Mahmud al-Mardini, seorang sufi yang bertemu Nabi dalam mimpi, tidak bisa disebut Sahabat. Hal serupa berlaku pada ruh Nabi-nabi yang berjumpa Rasulullah Muhammad SAW dalam mi’raj. Namun, Nabi Isa dianggap sebagai Sahabat. Alasannya adalah: pertama, diyakini bahwa Nabi Isa masih hidup dan dia melihat Nabi selama isra’-mi’raj (jadi pertemuannya adalah riil); dan kedua, meski dirinya juga nabi dan memiliki ajaran sendiri yang dalam beberapa hal berbeda dari ajaran Nabi Muhammad, Isa tunduk pada ajaran Nabi Muhammad. Karenanya dia beriman kepada Muhammad dan dihitung sebagai salah satu pengikut Nabi Muhammad.
Kedua, kriteria muslim dan meninggal sebagai muslim. Kriteria ini dipergunakan untuk mendefinisikan siapa saja dari sahabat yang melakukan tindakan murtad. Dalam kasus ini dapat dicontohkan adalah Abdullah ibn Abi Sarh. Para ahli hadis berselisih pendapat tentang orang yang kembali masuk Islam sesudah Nabi meninggal. Imam Abu Hanifah menolak menyebut orang semacam itu sebagai Sahabat, sebab, menurutnya, tindakan murtad membatalkan semua amal sebelumnya. Tetapi, secara umum, ahli hadis memilih menganggap orang semacam itu sebagai Sahabat. Alasannya dikemukakan oleh beberapa ahli. Menurut pendapat ini, kemurtadan akan menghapus amal kebaikan jika mereka meninggal dalam keadaan murtad; bila kembali masuk Islam, tindakan sebelumnya (amal, status, dan lain-lain) akan pulih kembali. Jadi, menurut pendapat ini, misalnya, al-Ash’ath ibn Qays dan Qurra ibn Hubayra, yang pernah keluar dan kemudian masuk lagi ke Islam sesudah Nabi wafat, dianggap sebagai Sahabat, dan hadis yang diriwayatkan mereka dimasukkan ke dalam masanid.
Ketiga, kriteria siapa saja juga memasukkan golongan jin. Sebagaimana manusia, sebagian jin masuk Islam dan menjadi mukminun, sedang sebagian jin tetap kafir. Jin mukmin yang pernah melihat Nabi dan mendengarkan Nabi berarti masuk dalam kriteria Sahabat yang ditetapkan oleh ahli hadis. Di sisi lain, malaikat, karena mereka bukan makhluk yang menjadi objek dakwah Nabi, maka tidak dikategorikan sebagai Sahabat.
Status Hukum
Dalam definisi yang diuraikan di atas kurang memperhatikan aspek status huku. Oleh karena itu status hukum orang tersebut juga perlu diperhatikan, yakni apakah orang itu sudah baligh atau belum saat bertemu Nabi. Selama periode hidup Nabi, beberapa Sahabat punya anak. Orang tuanya biasanya membawanya kepada Nabi, dan Nabi mendoakannya, memotong rambutnya dan menyuapinya, juga kadang-kadang memberikan nama. Tetapi, ketika Nabi wafat, saat itu kebanyakan anak tersebut belum mencapai pubertas (baligh). Apakah mereka ini juga termasuk Sahabat? Mengenai isu ini, para ahli hadis berselisih pendapat. Yahya ibn Ma’in, Abu Zur’a, Abu Hatim, dan Abu Daud berpendapat bahwa mereka yang belum akil-baligh saat Nabi wafat tidak bisa disebut Sahabat. Mereka menegaskan bahwa anak-anak itu memang “melihat” Nabi tetapi tidak “menemaninya” (lahu ru’ya wa-laysat lahu suhba). Al-Ala’i bahkan berpendapat mereka tidak benar-benar melihat Nabi (wa-la suhbata lahu wa-la ru’yata qat’an – dikutip dari Al-’Iràqì, al-Taqyìd, 293). Al-Waqidi dilaporkan juga menganut pendapat ini.
Menanggapi persoalan tersebut, mayoritas ahli hadis menentang pendapat itu. Sulit bagi mereka menolak klaim Sahabat seperti Al-Hasan ibn Ali dan generasinya, yang mengalami era kenabian (‘asr al-nubuwwa) dan menerima riwayat dari nabi, namun baru akil baligh setelah Nabi wafat. Jika mereka tidak dianggap sebagai Sahabat, maka hadis yang diriwayatkan dari mereka akan masuk kategori mursal, dan posisi mereka akan kurang-lebih setara dengan golongan Tabi’in, meski tidak persis masuk kategori ini.
Ahli hadis punya istilah khusus untuk hadis yang dilaporkan oleh orang yang belum mencapai akil-baligh saat Nabi wafat. Istilah itu adalah “al-mursal al-sahabi.” Berbeda dengan tipe mursal, tipe al-mursal al-sahabi ini tidak dipandang lemah dan dapat dipakai sebagai sumber yang otoritatif. Karena banyak ahli hadis bersikeras bahwa mereka yang lahir di tahun-tahun terakhir masa hidup Nabi adalah layak disebut Sahabat, maka tentu diperkirakan golongan ahli hadis ini akan memasukkan hadis dari mereka ke dalam kategori musnad.
Wallahu ‘Alam Bishshowab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar